Saat memasuki usia remaja awal, proses pematangan fungsi seksual dalam tubuh seorang anak berakibat memunculkan rasa tidak nyaman akan diri sendiri yang cenderung diekspresikan dalam perilaku negatif. Tak heran bila orang tua kerap mengeluh sulit berelasi dengan anak remaja mereka yang tidak lagi menampilkan sosok anak manis dan patuh. Dewasa ini, relasi tak harmonis tersebut cenderung diperparah adanya gap antar generasi. Orang tua dari anak usia SMP pada umumnya berasal dari generasi X, sementara anak-anak mereka adalah generasi Z dengan karakteristik sangat berbeda satu sama lain.
Topik inilah yang diangkat dalam sesi parenting bagi orang tua peserta didik kelas VII. Narasumbernya adalah Ibu Charlotte Priatna. Kegiatan ini diselenggarakan selama lima hari berturut-turut untuk orang tua peserta didik kelas VIIA hingga VIIE. Kegiatan berlangsung dari hari Senin, 2 September hingga Jumat, 6 September 2019. Pada pembukaan Ibu Charlotte memberikan apresiasi khusus bagi para Ayah yang mengambil waktu untuk menghadiri sesi ini. Hal ini menjadi fokus pembicaraan dan ditegaskan kembali karena kecenderungan umum untuk menyerahkan urusan pengasuhan anak semata kepada sosok Ibu adalah sepenuhnya keliru. Pada tahap nature di awal masa hidup seorang anak, peran Ibu memang sangat dominan. Namun selanjutnya, terlebih saat anak berada di usia remaja, proses yang berlangsung memasuki tahap nurture, saat di mana Ayah harus lebih mengambil peran.
Dalam hal ini warga generasi X, para orang tua adalah angkatan yang tumbuh besar dalam kondisi ekonomi tidak pasti, sehingga terbentuk menjadi tangguh dan bermental tahan banting. Karakter lain yang menandai generasi ini adalah kemandirian dan kemahiran beradaptasi. Kemandirian yang terkondisi oleh kurangnya bonding dengan orang tua (generasi sebelumnya adalah baby boomer adalah angkatan pekerja keras dan sangat mementingkan pekerjaan), berdampak pada kesulitan orang tua menunjukkan afeksi dalam relasinya dengan anak. Pilihan untuk menjadi teman ’ngobrol’ yang menyenangkan, ternyata bisa menjadi ”kebablasan”, sehingga anak lupa akan status orang tua sebagai pemegang otoritas di rumah.
Pengalaman-pengalaman “miscommunication” dalam relasi orang tua - anak kemudian digali pada kesempatan diskusi antar peserta yang duduk berdekatan. Selain mengungkap pengalaman berbeda pola pikir dengan sang buah hati, peserta juga ditantang untuk menemukan “apa yang harus dilakukan” dalam situasi tersebut. Tuntunan untuk diskusi tertera dalam lembar panduan yang diterima oleh setiap orang tua di awal pertemuan juga memuat rangkuman materi parenting.
Dalam menanggapi sharing hasil diskusi, Ibu Charlotte menuntun peserta untuk lebih jauh mengenali karakteristik remaja muda mereka. Anak-anak usia kelas VII sebagai generasi Z adalah angkatan yang sejak lahirnya telah menjadi mahir dengan dunia digital dan jaringan internet. Para teenagers ini kemudian diberi julukan screenagers, sangat akrab dengan layar gadget mereka. Keistimewaan ini menjadikan mereka sangat peduli teknologi baru, tetapi cenderung terikat pada gadget; tidak hanya itu mencoba hal baru, tetapi mudah bosan; mempunyai kreativitas tinggi, tetapi bermental instan; sangat percaya diri, tetapi kurang hormat pada orang lain; pintar dan handal, tetapi lemah dalam komitmen, loyalitas, tidak serius, santai, tidak peduli, dan egosentris.
Perbedaan tajam antar dua generasi ini membuat gaya parenting orang tua generasi X untuk anak generasi Z berpeluang memunculkan sejumlah permasalahan. Kesulitan orang tua membangun relasi, membatasi keterbukaan anak, sementara kebebasan berekspresi yang diterima anak, membuat konflik dan debat sering terjadi. Selain itu, tuntutan orang tua yang berlebihan cenderung membut anak menarik diri.
Secara khusus berkaitan dengan hal terakhir, Ibu Charlotte memperkenalkan konsep atelophobia yakni phobia terhadap ketidaksempurnaan atau takut tidak menjadi cukup baik; ketakutan yang ekstrim akan kegagalan mencapai kesempurnaan dalam tindakan, gagasan, maupun keyakinan seseorang. Atelophobia pada remaja bisa mengarah pada kondisi depresi sampai keputusan untuk mengakhiri hidup ini sangat mungkin berawal dari akumulasi pengalaman gagal memenuhi tuntutan orang tua.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk membantu anak membangun harapan. Kekuatan harapan dapat mengalahkan keputusasaan. Ini terbukti dari pengalaman pendampingan Ibu Charlotte terhadap seorang siswa kelas XI yang terancam tinggal kelas karena memiliki tujuh nilai kurang. Guru, wali kelas, maupun pembimbing sudah mengingatkan siswa tersebut tentang kondisinya dan mendorongnya untuk memperbaiki, tetapi ia ’tak bergerak’. Kepada siswa tersebut, Ibu Charlotte menyatakan bahwa setelah melihat nilainya, ia yakin bahwa siswa tersebut bisa naik kelas. Mereka membicarakan empat nilai yang mendekati KKM yang perlu menjadi fokus perbaikannya, dan tiga nilai lainnya yang akan ditinggalkan. Namun, ia tetap memenuhi persyaratan kenaikan kelas. Pada akhirnya, siswa tersebut berhasil naik kelas.
Kesempatan tanya jawab yang disediakan di akhir sesi dimanfaatkan dengan baik oleh peserta hingga pertemuan diakhiri setelah berlangsung selama 90 menit. Durasi waktu yang relatif pendek ini tampaknya terisi cukup efektif. Hal ini dapat disimpulkan dari hasil evaluasi peserta terhadap kegiatan yang dilakukan setelah sesi berakhir. Semoga saja, bekal yang diperoleh peserta melalui kegiatan ini tidak sebatas menambah wawasan dan melengkapi khasanah pengetahuan mereka, melainkan sungguh menggerakkan para orang tua ini untuk memperbaharui relasi dengan anak serta dapat menjembatani jurang relasi antar mereka.
Lomba Tari Tradisional Kategori Group Tangerang Fashion Festival 2025
MENGUKIR PRESTASI DENGAN DIGITAL ART
Pengalaman Berharga
Hidup dalam Keserasian, Bersatu, Sehati, Sekehendak
Refleksi pada Hari Santa Angela Merici di Kampus St. Ursula Bumi Serpong Damai
Sr. Francesco Marianti, OSU: Pelaku Serviam Sejati