Pelatihan Pendidikan Karakter

  • Posted: 2021-10-11
  • By: Maria Regina Deviyana

Pendidikan Karakter merupakan tema utama dalam pelatihan untuk guru yang diselenggarakan pada hari Kamis hingga Sabtu, tanggal 16-18 September 2021. Pelatihan kali ini diberikan oleh Romo J. Haryatmoko, SJ dan diikuti seluruh guru dalam komunitas Santa Ursula BSD, dari jenjang TB-TK hingga SMA.

Sebelum pelatihan dimulai, kami diminta untuk menyaksikan film “The Flower of War”. Secara khusus bagi saya, film ini memberikan makna mengenai hidup sebagai sesuatu yang suci, yang harus diperjuangkan. Walaupun saat itu, saya belum sepenuhnya memahami keterkaitan film dengan materi pelatihan yang akan diberikan.

Awalnya, saya merasa kesulitan untuk menangkap penjelasan yang diberikan oleh Romo Haryatmoko ketika berbicara mengenai karakter sebagai kualitas keutamaan. Namun, hal yang kemudian menarik perhatian saya adalah pernyataan Romo Haryatmoko  bahwa karakter dibentuk dari apa yang kita lakukan, bukan dari apa yang kita katakan, ketahui, ataupun yakini.

Ternyata karakter dibentuk dari tindakan kita. Setiap pilihan bertindak yang kita putuskan, menentukan siapa diri kita. Melalui latihan, kita mengarahkan diri untuk mampu dan berani bertindak tepat.

Pembentukan karakter sangat efektif dilakukan melalui teladan, lingkungan, dan tradisi di mana orang tersebut berada. Maka, peran keluarga dalam membantu perkembangan karakter seorang anak menjadi sangat penting.

Setelah pemaparan tentang materi dan komponen pembentukan karakter, Romo Haryatmoko mengajak peserta untuk mengenali ketiga tingkatan perkembangan kesadaran moral menurut Lawrence Kohlberg, dengan kedua tahap pada setiap tingkatan.

Perkembangan kesadaran moral dari tahap satu ke tahap lainnya dicapai melalui praktek dan pengalaman. Selain dipengaruhi oleh lingkungan, perkembangan kesadaran moral ini juga dipengaruhi oleh cara berpikir dan pemahaman kita. Maka, untuk dapat mengubah pola pikir dan perilaku seseorang, sangat diperlukan kesediaan untuk berdiskusi dan berinteraksi.

Pemahaman kami terhadap tahap-tahap perkembangan kesadaran moral ini kemudian digunakan untuk mengidentifikasi tahap perkembangan kesadaran moral setiap tokoh dalam film “The Flower of War”. Pilihan tindakan setiap tokoh, berikut alasan yang melatarbelakangi pilihan tindakan tersebut, memberikan gambaran tentang tingkat kesadaran moral mereka masing-masing.

Selanjutnya, kami dilatih untuk mengenali tingkatan kesadaran moral siswa melalui kuesioner yang dikembangkan oleh Romo Haryatmoko. Kuesioner ini terdiri dari 10 rumusan situasi yang diandaikan dialami siswa. Terhadap setiap rumusan situasi, disediakan 6 pilihan tindakan untuk menyikapi situasi tersebut, masing-masing mewakili tahapan tertentu dari tingkat kesadaran moral. Sebagai latihan, kami semua mengerjakan kuesioner yang dimaksudkan untuk siswa tersebut.

Menurut saya, latihan ini tidak mudah, karena setiap pernyataan pilihan tindakan mengandung makna yang hampir mirip satu sama lain. Namun ternyata  pengalaman berlatih inilah yang menjadi modal bagi kami untuk mengembangkan sendiri sebuah kuesioner serupa.

Dalam unit masing-masing, kami ditugaskan mengembangkan kuesioner untuk mengenali tingkatan kesadaran moral siswa kami, sesuai dengan situasi yang terjadi pada siswa saat ini. Ini adalah awal dari aktivitas kerja tim yang kemudian semakin intens terjadi pada kedua hari berikutnya.

Kami memulai kerja bersama dalam unit SMP dengan merumuskan situasi yang menantang tindakan moral tertentu, yang kami amati kerap terjadi pada siswa. Selanjutnya, untuk setiap gambaran situasi, kami rumuskan beberapa alternatif tindakan yang mewakili tingkatan perkembangan kesadaran moral tertentu. Dengan menggunakan fasilitas drive bersama, proses saling melengkapi ini berlangsung secara online, bahkan hingga malam hari.

Presentasi hasil kerja dari setiap unit inilah yang mengawali proses pelatihan pada hari kedua. Catatan yang diberikan oleh Romo Haryatmoko untuk setiap item kuesioner yang dipresentasikan, semakin menguatkan pemahaman kami. Alat ukur yang baik membantu kami memperoleh pengenalan yang lebih baik pula terhadap tingkat kesadaran moral siswa yang kami dampingi.

Pelatihan pada hari kedua berfokus pada upaya mendampingi siswa mengembangkan tingkat kesadaran moral mereka. Mengangkat beberapa penelitian pustaka, Romo Haryatmoko menegaskan bentuk-bentuk pendampingan orang tua dalam hal ini. Bagaimana dengan di pendidik di sekolah?

Dari antara sekian banyak gagasan untuk diterapkan, kami secara khusus didampingi dalam mengenal, memahami, kemudian menerapkan tiga bentuk pelatihan pembelajaran yang memacu kreativitas, dengan berorientasi ke pemecahan-masalah. Ketiga bentuk tersebut adalah : 1) Logika Abduksi, 2)Lima Langkah Pemecahan Masalah secara ilmiah, serta 3) Design Thinking.

Logika abduksi merupakan logika alternatif, melengkapi logika yang umum dikenal yaitu induksi dan deduksi. Dibandingkan dengan kedua logika sebelumnya yang membatasi kesimpulan pada satu kemungkinan, logika abduksi berpeluang memunculkan lebih dari 1 pernyataan hipotesa, terhadap fakta adanya kasus yang tidak sejalan dengan pengamatan umum.

Untuk lebih memahami, kami kemudian masuk dalam kelompok-kelompok kecil, membuat contoh penggunaan logika abduksi dalam kegiatan pembelajaran. Sebagaimana sebelumnya, hasil kerja ini pun dipresentasikan dan dikritisi oleh Romo Haryatmoko. Semakin banyak contoh yang diungkapkan dari aneka bidang studi di semua jenjang, semakin tampak bahwa logika abduksi lebih mendorong siswa berpikir kreatif dan inovatif.

Ternyata logika abduksi menjadi dasar bagi tahap ketiga dari lima langkah pemecahan masalah secara ilmiah. Ini merupakan bentuk lain dari  pembelajaran yang memacu kreativitas dengan berorientasi ke pemecahan-masalah, yang kami pelajari selanjutnya.

Diawali dengan tahap pengungkapan masalah serta tahap perumusan masalah secara spesifik, tahap ketiga yakni pengajuan kemungkinan pemecahan masalah, dilakukan dengan logika abduksi untuk menghasilkan daftar hipotesis. Konsekuensi dari pilihan solusi di tahap ketiga tersebut kemudian dibahas pada tahap keempat, sebelum diakhiri dengan langkah penerapan, evaluasi dan tindak lanjut di tahap kelima.

Penerapan kelima langkah pemecahan masalah secara ilmiah ini kemudian kami latihkan lagi dalam kelompok-kelompok kecil. Presentasi hasil kerja dari perwakilan setiap unit menjadi agenda pertama, mengawali rangkaian kegiatan pada hari ketiga. Catatan kritis dari Romo Haryatmoko untuk presentasi hasil karya, kembali menguatkan pemahaman kami yang rasanya sudah semakin terbatas, sejalan dengan semakin beratnya materi yang diberikan.

Ada sejumlah konsep baru yang kami kenali di hari terakhir pelatihan. Kompetensi subjektif, yang menjadi indikator keberhasilan pendidikan karakter; konsep habitus berikut proses internalisasinya; konsep kecerdasan kolektif diikuti quiz untuk menguji kadar kepemilikannya pada peserta; hingga konsep design thinking.

Konsep terakhir merupakan bentuk terakhir dari pembelajaran yang memacu kreativitas dengan berorientasi ke pemecahan-masalah, yang diperkenalkan kepada kami. Design thinking juga memuat lima langkah, namun model ini menempatkan secara khusus aspek empati di awal proses. Berhadapan dengan masalah, perlu terlebih dahulu ditegaskan, kepada pihak manakah keberpihakan hendak diarahkan.

Sebagai bahan latihan, Romo Haryatmoko menyiapkan sebuah kasus dilematis untuk dipecahkan. Dalam kelompok-kelompok kecil, peserta menerapkan langkah demi langkah design thinking, namun kali ini dalam waktu yang sangat singkat, karena waktu pelatihan nyaris berakhir. Meskipun demikian, presentasi dari setiap unit serta tinjauan cermat dan masukan bermakna dari Romo Haryatmoko tetap membekali kami.

Ada banyak sekali hal baru yang kami pelajari melalui pelatihan tiga hari ini. Nilai-nilai moral sebagai panduan perilaku yang membangun karakter setiap pribadi, tidak dengan serta merta dimiliki siswa dalam hidup mereka. Maka pendidikan karakter menjadi bagian utama dalam panggilan seorang guru.

Secara pribadi, saya menggaris bawahi fakta bahwa perkembangan moral seseorang perlu terus-menerus dilatih. Nilai-nilai moral bukan sekedar untuk diketahui dan dipahami, melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata. Sebagai seorang guru, saya harus memberikan teladan bagi para siswa, melalui tindakan yang saya lakukan.

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: views/page_news_detail_unit.php

Line Number: 38

Backtrace:

File: /home/sant9977/public_html/application/views/page_news_detail_unit.php
Line: 38
Function: _error_handler

File: /home/sant9977/public_html/application/views/template.php
Line: 111
Function: view

File: /home/sant9977/public_html/application/controllers/News.php
Line: 167
Function: view

File: /home/sant9977/public_html/index.php
Line: 315
Function: require_once

Back