Relasi sosial yang berjarak karena perbedaan Agama, sentimen SARA, dan ujaran kebencian mengancam kemerdekaan berfikir. Keberagaman kerap dipermasalahkan dan kegaduhan di media sosial menggunakan sentimen identitas yang sewaktu-waktu dapat menjadi titik letus kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Tema “Tantangan Relasi Keberagaman di era Digital” sengaja kami angkat dalam acara Pekan Pancasila karena Agama dan etnik menjadi sangat rentan dewasa ini. Dalam konteks perubahan sosial, kedewasaan berfikir diuji oleh media baru yang membentuk cara berinteraksi, berkomunikasi, bahkan mempengaruhi jalan pikiran penggunanya. Merujuk pada artikel Vibriza Juliswara (2017) dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi (UGM), setiap orang kini adalah wartawan. Pengguna medsos terlibat dalam aksi mencari, mengolah, menerima, dan menyebarkan informasi. Persoalannya, kegaduhan di medsos kerap menggunakan sentimen identitas yang berujung pada ujaran kebencian, sentimen SARA dan hoax.
Media sosial memang membawa dampak pada kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menembus sekat-sekat sosiologis (status sosial, etnisitas, agama). Persoalannya, gelombang digitalisasi tidak disertai sikap kritis atas kebenaran suatu berita, kepantasan berkomentar, dan mudah terprovokasi. Era post truth atau yang disebut jaman pasca kebenaran, seringkali menonjolkan emosi dan keyakinan pribadi atas suatu berita dibandingkan kebenaran objektif faktual. Berita-berita bohong dan ujaran kebencian akhirnya berpengaruh pada pembentukan opini publik.
Dipandu Victor Puguh Harsanto sebagai MC dan Ignatius Bayu Sudibyo sebagai moderator, dialog kebangsaan ini menghadirkan tiga narasumber dengan latar belakang berbeda. Dara Adinda Nasution, alumnus FISIP Universitas Indonesia memberikan pemaparan data-data komposisi pengguna medsos di Indonesia dan gambaran permasalahan penggunaan media sosial, mulai dari konten paham radikalisme, cyberbullying, dan penyebar hoax. Pengguna medsos kadang mudah percaya dan larut pada paham/ajaran yang ia baca di media sosial. Pembicara kedua praktisi sosial media komunikasi KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), Margareta Astaman memberikan penjelasan bagaimana bermedia sosial yang bijak dalam menyikapi isu-isu anti keberagaman, ujaran kebencian, ataupun hoax. Margareta Astaman menawarkan pentingnya literasi media berbasis digital, mulai dari menelusuri sejarah Website, verifikasi sumber informasi, siapa penulisnya dan mempelajari apakah fakta atau sekedar opini. Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan mengolah dan menyikapi informasi yang menyesatkan. Media sosial kalau dikelola dengan baik justru dapat menularkan virus-virus praktik baik dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Pemahaman mendalam tentang nilai-nilai Pancasila menjadi kunci bagaimana manusia Indonesia itu harus hidup berbagi dengan orang lain. Aktivis dan intelektual muda NU, M. Guntur Romli memaparkan bagaimana relasi keberagaman para Bapak Bangsa berperan besar dalam mengisi perjalanan sejarah bangsa. Romli juga menyinggung persoalan mendasar anak bangsa yang kehilangan narasi sejarah para pendiri bangsa. Lewat sejarah, ada titik temu menarik ketika perjumpaan lintas ideologis dan identitas tidak menyebabkan jalinan silaturahmi dan persahabatan terputus. Bapak politik umat Katolik Indonesia, I.J. Kasimo adalah contoh bagaimana pergulatannya secara ideologis dengan Natsir ataupun Aidit tidak mengikis jalinan persahabatannya. Romli juga menyinggung spirit 100% Katolik 100% Indonesia, warisan Soegijapranata yang harus menjadi insprasi generasi Katolik. Penghargaan pada keberagaman di Indonesia harus diupayakan lewat cara cara sederhana dan baik untuk diviralkan.
Hari lahir Pancasila menjadi momentum bagi lembaga pendidikan untuk merayakan dan memaknai kebhinnekaan dengan gembira, serta mengembangkan tradisi berfikir kritis. Sekolah menjadi tempat bagi komunitasnya bersentuhan dengan gagasan keberagaman. Sekolah Santa Ursula BSD terpanggil untuk mengajak seluruh komunitasnya mengunjungi simpul ingatan kolektif bangsa yang sedang terkoyak ketika identitas dipersoalkan. Upaya ini merupakan proses belajar agar anak bangsa dapat bernalar dan kokoh dalam berfikir tentang keberagaman.
Persoalan relasi keberagaman di era digital mendesak untuk disikapi sehingga isu SARA dan berbagai macam konten anti keberagaman dapat disikapi dengan bijak. Penggunaan media sosial harus dibarengi kualitas SDM agar konten yang diproduksi justru mengundang simpati, kepantasan dalam berkomentar, dan kritis pada konten yang belum tentu sesuai fakta. Identitas agama dan suku apabila salah “disentuh” dapat menjadi titik letus yang mengancam relasi keberagaman. Kami ingin generasi muda tidak terperangkap pada konten-konten negatif yang memecah belah persatuan, justru menjadi subjek perekat semangat menghargai keberagaman dengan menjunjung tinggi etika di media sosial